Warisan sejarah Sanherib

Anggapan umum mengenai Sanherib

Sosok Sanherib dalam gambar cukil kayu buatan abad ke-16, dari satu seri cap kayu bertema Para Tiran Perjanjian Lama, karya Georg Pencz, seniman cukil kayu, pelukis, sekaligus juru cetak asal Jerman

Beribu-ribu tahun sesudah kemangkatannya, citra Sanherib di dalam benak kebanyakan orang cenderung bersifat negatif. Sebab utamanya adalah pencitraan Sanherib yang negatif di dalam Alkitab, yakni sebagai tokoh jahat yang berusaha merebut kota Yerusalem. Sebab yang kedua adalah penghancuran kota Babel, salah satu kota terkemuka di dunia pada Abad Kuno. Citra negatif Sanherib ini bertahan sampai ke zaman modern. Di dalam puisi terkenal yang berjudul The Destruction of Sennacherib, gubahan Lord Byron pada tahun 1815, Sanherib diumpamakan dengan pemangsa buas yang menyerbu Yehuda "bak serigala menghampiri kawanan domba".[108]

The Assyrian came down like the wolf on the fold,
And his cohorts were gleaming in purple and gold;
And the sheen of their spears was like stars on the sea,
When the blue wave rolls nightly on deep Galilee.

(Orang Asyur itu datang bak serigala menghampiri kawanan domba
Laskar pengiringnya pun gilang-gemilang, serba ungu bersanding kencana
Kilau mata tombak mereka umpama kerlip bintang di atas segara
Saat ombak biru malam bergulung di permukaan tasik Galilea)

— Lord Byron (1815), The Destruction of Sennacherib, bait pertama.[108]
Gambar miniatur dari kitab-kitab para nabi Perjanjian Lama yang dibuat di Kerajaan Sisilia sekitar tahun 1300, menampilkan tiga adegan berlainan dari aksi Sanherib memerangi bangsa Israel. Gambar kanan menampilkan adegan penumpasan angkatan perang Sanherib oleh Malaikat Tuhan. Gambar tengah menampilkan adegan perjalanan pulang Sanherib dan sisa angkatan perangnya ke Niniwe. Gambar kiri menampilkan adegan pembunuhan Sanherib oleh kedua Puteranya selagi ia berdoa kepada berhala.

Pada tahun 2014, Arkeolog Alkitab Isaac Kalimi dan sejarawan Seth Richardson menyifatkan serangan terhadap Yerusalem yang dilancarkan Sanherib pada tahun 701 SM sebagai salah satu "peristiwa penting di dalam sejarah dunia", kerana dianggap telah mempertemukan perjalanan nasib dari tiga kelompok masyarakat yang mungkin saja akan bergulir sendiri-sendiri andaikata peristiwa ini tidak pernah terjadi. Menurut Isaac Kalimi, peristiwa ini maupun kesudahannya telah memengaruhi dan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi bukan hanya bagi bangsa Asyur dan bangsa Israel, melainkan juga bagi bangsa Babel, bangsa Mesir, bangsa Nubia, bangsa Suriah-Het, dan bangsa-bangsa di Jazirah Anatolia. Perang pengepungan Yerusalem tidak hanya dibicarakan di dalam sumber-sumber sezamannya, tetapi juga di dalam cerita-cerita rakyat dan tradisi-tradisi dari zaman-zaman sesudahnya, misalnya di dalam cerita rakyat Aram, di dalam karya-karya tulis Gerika-Romawi tentang sejarah Timur Dekat, serta di dalam cerita-cerita umat Kristen Suryani dan Arab pada Abad Pertengahan.[109] kempen ketenteraan Sanherib di Masyrik merupakan salah satu peristiwa penting di dalam Alkitab, kerana diungkit dan diwacanakan di banyak tempat, teristimewa di dalam Kitab Raja-Raja (2 Raja-Raja 18:13-19:37, 20:6) dan di dalam Kitab Tawarikh (2 Tawarikh 32:1-23).[110] Sebahagian besar ayat-ayat Alkitab yang berkaitan dengan masa pemerintahan Raja Hizkia di dalam Kitab Raja-Raja adalah riwayat kempen ketenteraan Sanherib, dan dengan demikian mengekalkannya sebagai peristiwa terpenting sepanjang masa pemerintahan Hizkia.[111] Di dalam Kitab Tawarikh, yang ditonjolkan adalah kegagalan Sanherib dan kesuksesan Hizkia. kempen ketenteraan bangsa Asyur (diwacanakan sebagai suatu aksi agresi alih-alih sebagai aksi tanggapan terhadap aktivitas-aktivitas makar Hizkia) dianggap sudah sejak semula ditakdirkan gagal. Menurut narasi Kitab Tawarikh, tidak ada satu musuh pun, termasuk Raja Asyur yang adidaya, yang mampu berjaya mengangkangi Hizkia, kerana Allah berada di pihaknya.[112] Konflik ini diuraikan sedemikian rupa seakan-akan sebuah perang suci, dan dalam perang tersebut Allah diyakini memerangi Sanherib yang dianggap sebagai penyembah berhala.[113]

Sekalipun Kerajaan Asyur sepanjang sejarahnya pernah dipimpin lebih dari seratus orang raja, Sanherib (dan anak cucunya, Esarhadon, Asyurbanipal, dan Masyrikas-syum-ukin) adalah salah seorang di antara segelintir raja Asyur yang terlestarikan di dalam ingatan maupun cerita-cerita rakyat Aram dan Suryani, lama sesudah kerajaan Asyur runtuh. Di dalam cerita rakyat Aram kuno berjudul Hikayat Ahikar, Sanherib ditampilkan sebagai tokoh raja budiman, pelindung tokoh utama yang bernama Ahikar, sementara Esarhadon dihadirkan sebagai tokoh jahat. Cerita-cerita rakyat Suryani dari Abad Pertengahan mengetengahkan Sanherib sebagai raja pagan purbakala yang terbunuh dalam sengketa keluarga dan anak-anaknya masuk Kristen.[114] Dalam legenda dari abad ke-4 tentang Santo Behnam dan Santa Sarah, Sanherib dihadirkan sebagai raja sekaligus ayah kedua orang kudus itu dengan nama Sinharib. Sesudah Behnam masuk Kristen, Sinharib memerintahkan agar sang pangeran dihukum mati. Sinharib kemudian terserang penyakit berbahaya, dan baru sembuh sesudah dibaptis Santo Matius di kota Asyur. Sebagai wujud rasa syukur, Sinharib masuk Kristen dan membangun sebuah biara di dekat kota Mosul yang dinamakan Deir Mar Matai (Biara Santo Matius).[115]

Sanherib juga muncul di dalam tradisi-tradisi Yahudi terkemudian. Di dalam Midras, kumpulan telaah ayat-ayat Perjanjian Lama dan cerita-cerita yang baru muncul kemudian hari, peristiwa-peristiwa pada tahun 701 SM kerap diuraikan secara terperinci. Cerita-cerita ini juga berulang kali menghadirkan gambaran tentang angkatan perang besar yang dikerahkan Sanherib, dan menonjolkan tindakan Sanherib meminta petunjuk berulang kali dari para ahli nujum sehubungan dengan kempen ketenteraannya, sehingga pelaksanaannya tertunda-tunda. Di dalam cerita-cerita tersebut, angkatan perang Sanherib dibinasakan ketika Hizkia membacakan mazmur-mazmur Halel pada malam Pesah. Peristiwa ini kerap digambarkan sebagai sebuah skenario apokaliptis, dan dalam skenario tersebut Hizkia digambarkan sebagai seorang tokoh mesianis sementara Sanherib berikut angkatan perangnya digambarkan sebagai pengejawantahan Gog dan Magog.[116] kerana sepak terjangnya tercatat di dalam Alkitab, Sanherib menjadi salah seorang Raja Asyur yang paling diingat orang sampai sekarang.[117]

Temuan-temuan arkeologi

Relief dua orang prajurit Asyur, dari istana Sanherib

Penemuan prasasti-prasasti keluaran Sanherib pada abad ke-19, yang memuat uraian tentang tindakan-tindakan kejam seperti perintah untuk menggorok leher orang-orang Elam, serta memotong tangan dan bibir mereka, kian mengukuhkan citra Sanherib sebagai seorang raja yang zalim. Banyak prasasti Sanherib sudah diketahui keberadaannya, dan sebahagian besar di antaranya kini menjadi koleksi Vorderasiatisches Museum di Berlin dan British Museum di London, kendati banyak pula yang menjadi koleksi lembaga-lembaga lain maupun orang-orang peribadi. Sejumlah benda berukuran besar yang memuat tulisan-tulisan dari zaman Sanherib masih ada di Niniwe, sebahagian bahkan dikubur kembali.[118] Catatan-catatan peribadi Sanherib berkenaan dengan projek-projek pembangunan dan kempen-kempen ketenteraannya, yang umum disebut "Tawarikh Sanherib", sering kali disalin dan disebarluaskan ke seluruh pelosok wilayah Kemaharajaan Asyur Baru pada masa pemerintahannya. Selama enam tahun pertama masa pemerintahannya, catatan-catatan peribadi tersebut dituliskan pada silinder-silinder lempung, tetapi kemudian dituliskan pada prisma-prisma lempung, mungkin kerana permukaan prisma lempung dapat menampung lebih banyak tulisan daripada permukaan silinder lempung.[25]

Surat-surat yang diduga berasal dari Sanherib lebih sedikit jumlahnya daripada surat-surat yang diketahui berasal dari ayahnya maupun yang surat-surat keluaran masa pemerintahan Esarhadon. Sebahagian besar surat Sanherib ditulis pada saat ia menjadi Putera mahkota. Peninggalan-peninggalan tertulis selain yang dikeluarkan raja, misalnya dokumen-dokumen administratif, dokumen-dokumen ekonomi, dan tawarikh-tawarikh, justru lebih banyak jumlahnya.[119] Selain peninggalan-peninggalan tertulis, ada banyak pula benda-benda karya seni yang berasal dari zaman Sanherib, teristimewa relief-relief Sanherib dari istananya di Niniwe. Lazimnya prasasti-prasasti tersebut menggambarkan aksi-aksi penaklukan yang dilancarkannya, kadang-kadang ditambahi kalimat-kalimat pendek sebagai penjelasan adegan yang terpahat. Relief-relief tersebut pertama kali ditemukan dan diekskavasi dari tahun 1847 sampai 1851 oleh Austen Henry Layard, arkeolog berkebangsaan Inggris. Relief-relief perang pengepungan kota Lakhis yang ditemukan di situs Istana Barat Daya adalah temuan arkologi pertama yang mengonfirmasi sebuah catatan peristiwa di dalam Alkitab.[85]

Asiriolog Hormuzd Rassam bersama Henry Creswicke Rawlinson (dari tahun 1852 sampai 1854), William Kennett Loftus (dari tahun 1854 sampai 1855), dan George Smith (dari tahun 1873 sampai 1874) memimpin kegiatan ekskavasi lebih lanjut di situs Istana Barat Daya.[85] Di antara berbagai peninggalan tertulis yang diekskavasi di situs itu, George Smith menemukan potongan prasasti air bah, yang menimbulkan kehebohan di kalangan sarjana maupun masyarakat umum. Sesudah usaha ekskavasi yang dilakukan George Smith, situs itu masih beberapa kali diekskavasi dan ditelaah secara intensif, yakni (sekali lagi) oleh Hormuzd Rassam (dari tahun 1878 sampai 1882), oleh Egiptolog E. A. Wallis Budge (dari tahun 1889 sampai 1891), oleh Asiriolog Leonard William King (dari tahun 1903 sampai 1904), dan oleh Asiriolog Reginald Campbell Thompson (pada tahun 1905 dan dari tahun 1931 sampai 1932). Departemen Kepurbakalaan Irak, di bawah pimpinan Asiriolog Tariq Madhloom, melaksanakan ekspedisi-ekspedisi termutakhir dari tahun 1965 sampai 1968. Banyak relief dari zaman Sanherib kini dapat disaksikan di Vorderasiatisches Museum, British Museum, Museum Irak di Bagdad, Metropolitan Museum of Art di New York, dan Museum Louvre di Paris.[120]

Anggapan negatif tentang Sanherib sebagai seorang penakluk yang beringas sudah memudar di kalangan sarjana modern. Pada tahun 1978, Julian E. Reade mengemukakan di dalam karya tulisnya bahwa Sanherib adalah seorang raja yang menonjol di antara raja-raja Asyur kerana berpikiran terbuka dan berpandangan jauh ke depan, dan bahwasanya Sanherib adalah tokoh "yang tidak saja mampu menanggulangi krisis-krisis biasa secara efektif, tetapi juga mampu mengubah krisis-krisis tersebut menjadi keuntungan, kerana ia menciptakan, atau berusaha menciptakan, sebuah struktur empayar yang kebal terhadap masalah-masalah tradisional". Julian E. Reade yakin bahwa salah satu penyebab keruntuhan Kemaharajaan Asyur dalam kurun waktu tujuh puluh tahun sesudah kemangkatan Sanherib adalah sikap abai raja-raja penerus terhadap kebijakan-kebijakan dan usaha-usaha pembaharuan yang digagas Sanherib.[107] Pada tahun 2018, Josette Elayi menyimpulkan di dalam karya tulisnya bahwa Sanherib sesungguhnya berbeda dari citra negatif tentang dirinya yang terlestarikan dari generasi ke generasi maupun dari citra raja sempurna yang ingin ia sebarluaskan melalui prasasti-prasastinya, tetapi unsur-unsur dari kedua citra tersebut memang ada di dalam dirinya. Menurut Josette Elayi, Sanherib "sudah tentu cerdas, terampil, dan memiliki kemampuan beradaptasi", tetapi "nilai-nilai keagamaan di dalam dirinya berkecamuk, kerana di satu pihak ia menghancurkan patung-patung dan kuil-kuil para dewa Babel sementara di lain pihak ia terbiasa mencari tahu kehendak dewa-dewa tersebut sebelum bertindak dan berdoa kepada mereka". Josette Elayi yakin bahwa kelemahan terbesar Sanherib adalah "sifat lekas naik darah, pendendam, dan tidak sabaran yang dimilikinya" dan bahwasanya Sanherib dalam keadaan emosi dapat saja terdorong untuk membuat keputusan-keputusan yang irasional.[121]